Penangkapan Kepiting di alam yang selama ini
dilakukan oleh petani tidak dilakukan dalam skala besar, tetapi hanya dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan benih saja. Hingga saat ini belum ada alat yang
dirancang khusus untuk menangkap Kepiting di alam. Meskipun demikian, petani di
beberapa daerah sudah melakukan penangkapan Kepiting dengan menggunakan
peralatan yang diperoleh dari leluhurnya.
Petani ikan di Sulawesi Selatan sudah biasa
menangkap Kepiting di alam dengan menggunakan alat tangkap yang diberi nama
“Dak ang-dakkang”. Alat ini terdiri dari sebuah tongkat kecil yang pada bagian
agak bawah dipasang jaring. Jaring tersebut terbuat dari tali yang dipilin
kecil dan dibentuk menjadi bundar (lihat gambar). Sedangkan pada bagian tongkat
di atas jaring dipasang umpan untuk menarik perhatian Kepiting. Umpan yang
digunakan untuk menarik perhatian Kepiting biasanya terdiri dari ikan yang
murah harganya, seperti buntal atau belut. Umpan diikat dengan kuat agar tidak
mudah dijatuhkan oleh Kepiting.
Tongkat kecil ini dipancangkan di pantai yang airnya
dangkal, di sela-sela tanaman bakau atau di lokasi yang diperkirakan banyak
Kepiting. Jika Kepiting telah memakan umpan, maka bagian tongkat yang muncul di
permukaan air akan terlihat sedikit bergoyang-goy ang. Jika sudah demikian,
petani secara hati-hati akan mencabut tongkat tersebut dan mengangkatnya ke
permukaan air. Pada saat yang sama, jaring penadah yang telah disiapkan segera
diletakan di bawah dakkang-dakkang. Penggunaan jaring penadah ini untuk menadah
Kepiting yang akan melepaskan dan menjatuhkan diri ke dalam air. Kepiting yang
telah masuk ke jaring penadah tidak akan dapat melarikan diri lagi, sehingga
dengan mudah dapat ditangkap.
Seorang petani dapat mempergunakan 20 buah dakkang-dakkang dalam melakukan operasi penangkapan Kepiting. Alat ini dipasang berjejer denganjarak 10 – 15 meter satu dengan lainnya. Untuk melakukan penangkapan Kepiting yang hidup di laut, petani biasanya menggunakan sampan (perahu kecil) untuk memasang dan mencabut tongkat kecil.
Seorang petani dapat mempergunakan 20 buah dakkang-dakkang dalam melakukan operasi penangkapan Kepiting. Alat ini dipasang berjejer denganjarak 10 – 15 meter satu dengan lainnya. Untuk melakukan penangkapan Kepiting yang hidup di laut, petani biasanya menggunakan sampan (perahu kecil) untuk memasang dan mencabut tongkat kecil.
Kepiting yang telah tertangk.ap di jaring penadah
segera diikat dengan tali yaflg telah disediĆ kan sebelumnya. Tali yang biasanya
digunakan sebagai pengikat berasal dari bahan pelepah pisang atau pucuk nipah.
Kini banyĆ£k digunakan tali rafia sebagai alat pengikat, sebab lebih mudah dan
praktis. Bagian yang diikat adalah kaki dan Capitnya, sehingga Kepiting tidak
bisa berjalan dan tidak bisa mengangkat capitnya. Beberapa petani ada yang
mengikat Kepiting dengan cara memasak ujung capitnya sehingga capit tidak dapat
lagi digunakan untuk menjepit tangan manusia. Meskipun praktis dan cepat, cara
ini kurang dianjurkan, karena daging Kepiting tertusuk oleh pasak sehingga
Kepiting cepat mati. Kepiting yang telah mati harganya akan turun dan tubuhnya
cepat menjadi cair.
Para nelayan di Kalimantan Timur juga sudah dikenal
mempunyai keahlian menangkap Kepiting. Alat yang mereka gunakan untuk menangkap
Kepiting adalah “ambau”. Alat ini terdiri dari dua buah rotan sepanjang .0 –
60 cm yang disilangkan satu dengan
lainnya dan diikat bagian tengahnya. Keempat ujung rotan dihubungkan dengan
seutas tali hingga membentuk segi empat yang mempunyai panjang sisinya 30 –
40cm. Tali tersebut akan menyebabkan potongan rotan tersebut menjadi melengkung
membentuk bangun setengah lingkaran. Di antara keempat ujung rotan tersebut
direntangkan jaring, sedangkan pada. .masing-masing.ujung rotan dipasangi
pemberat dari besi atau baru yang masing-masing mempunyai berat 100 – 200 gram.
Pemberat ini dipasang untuk membantu menenggelamkan
ambau ke dasar perairan pada saat digunakan untuk menangkap Kepiting. Pada
titik tengah ambau diikatkan seutas tali yang ujungnya diberi pelampung kayu
atau bahan lainnya yang bisa mengapung. Tali ini berfungsi untuk menarik ambau
pada saat Kepiting sedang memakan umpan. Penggunaan pelampung akan menyebabkan
tali mudah dicapai oleh nelayan.
Jika ambau akan digunakan untuk menangkap Kepiting,
maka harus dipasangi umpan dahulu. Umpan dipasang pada bagian bawah dan titik
tengah persilangan rotan dengan cara mengikatnya kuatk uat. Umpan yang biasa
digunakan adalah potongan daging ikan hiu. Untuk mendapatkan hasil yang lebih
baik, pemasangan ambau seb aiknya dilakukan pada saat menjelang terjadinya air
pasang naik atau menjelang air pasang surut. Ambau dipasang di pantai yang
mempunyai kedalaman air sekitar 30 – 40
cm dan baru diangkat setelah tinggi permukaan air mencapai 80— 120cm.
Jika air menjelang surut, ambau dapat dipasang di pantai yang mempunyai
kedalaman air sekitar 100—200cm dan baru diangkatjika permukaan air tinggal
50—100cm.
Pengangkatan ambau harus dilakukan secara hati-hati
agar Kepiting yang telah berkumpul tidak bubar melarikan diii. Jika penga
mbilan ambau dilakukan dengan menggunakan perahu kecil, maka usahakan agar arah
kapal yang datang menuju ke ambau mempunyai arah yang berlawanan dengan arah
arus air. Jika tidak memungkinkan, arah kapal yang menuju ke ambau dapat diatur
hingga membentuk sudut dengan arah arus air.
Cara penarikan ambau diawali dengan mengangkat pelampung dan menarik talinya secara perlahan-lahan. Setelah tali teregang dengan baik, segeralah sentakkan tali tersebut dengan cepat dan segera sehingga Kepiting yang sedang menyantap umpan akan segera jatuh ke dalam jaring penadah.
Cara penarikan ambau diawali dengan mengangkat pelampung dan menarik talinya secara perlahan-lahan. Setelah tali teregang dengan baik, segeralah sentakkan tali tersebut dengan cepat dan segera sehingga Kepiting yang sedang menyantap umpan akan segera jatuh ke dalam jaring penadah.
B. PRODUKSI BENIH
Benih Kepiting dapat diperoleh di alam atau dapat
diperoleh melalui pemijahan di akuarium. Benih yang diperoleh dan hasil
pemijahan di akuarium memiliki kualitas lebih baik dibandingkan benih yang
diperoleh dan hasil penangkapan di alam. Selain ukurannya yang sama, benih hasil
pemijahan di akuarium juga sangat murni, sebab tidak tercampur dengan benih
lainnya. Tidak jarang benih yang diperoleh dan hasil penangkapan di alam
tercemar oleh benih org anisme lain yang mungkin kelak akan menjadi hama bagi
Kepiting.
Pemijahan Kepiting dapat dilakukan secara terkontrol dalam sebuah akuanum berukuran 40 x 45 x 50 cm. Setelah disterilkan dengan larutan chiorin, isilah akuarium dengan air laut yang berkadar 31 permil hingga permukaan air mencapai ketinggian 20—30cm. Air laut yang digunakan untuk pemijahan hams bersih dan mempunyai salinitas yang stabil, agar energi yang diperoleh Kepiting dan makana nnya tidak habis digunakan hanya untuk menyesuaikan din dengan kondisi salinitas air yang selalu berubah. Cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kestabilan salinitas air laut di akuarium sangat mudah. Pada saat pertama kali dilakukan pengisian air ke dal am akuarium, berilah tanda atau batas tepat pada permukaan air (20-30 cm). Jika tinggi permukaan air berkurang karena proses pengu apan yang terjadi, segeralah ditambahkan air tawar hingga tinggi permukaan air kembali ke tanda atau batas semula.
Pemijahan Kepiting dapat dilakukan secara terkontrol dalam sebuah akuanum berukuran 40 x 45 x 50 cm. Setelah disterilkan dengan larutan chiorin, isilah akuarium dengan air laut yang berkadar 31 permil hingga permukaan air mencapai ketinggian 20—30cm. Air laut yang digunakan untuk pemijahan hams bersih dan mempunyai salinitas yang stabil, agar energi yang diperoleh Kepiting dan makana nnya tidak habis digunakan hanya untuk menyesuaikan din dengan kondisi salinitas air yang selalu berubah. Cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kestabilan salinitas air laut di akuarium sangat mudah. Pada saat pertama kali dilakukan pengisian air ke dal am akuarium, berilah tanda atau batas tepat pada permukaan air (20-30 cm). Jika tinggi permukaan air berkurang karena proses pengu apan yang terjadi, segeralah ditambahkan air tawar hingga tinggi permukaan air kembali ke tanda atau batas semula.
Untuk menjamin tersedianya oksigen selama pemijahan
maupun pemeliharaan larva, akuarium dilengkapi dengan aerator (air pump). Selain
berfungsi sebagai sumber oksigen, aerator juga untuk mencipt akan sirkulasi air
yang sangat bermanfaat pada saat pemberian pak an. Ujung pipa aerator sebaiknya
dilengkapi dengan batu aerasi (air stone) agar ukuran gelembung udara
yang keluar relatif kecil dan seragam. Pipa aerator yang tidak dilengkapi
dengan batu aerasi akan menyebabkan larva Kepiting teraduk, sebab gelembung
udara yang dihasilkannya tenlalu besar
Selama di akuarium, induk Kepiting diberi pakan
berupa potonga n daging kerang, cumi-cumi atau udang. Dosis makanan yang dib
erikan berkisar 3 persen dan berat total Kepiting yang hendak dip ijahkan. Sisa
pakan yang terdapat di dasar akuarium sebaiknya segera dibersihkan agar tidak
menyebabkan timbulnya proses pemb usukan yang dapat menurunkan kualitas air di
dalam akuanium. Pembersihan sisa pakan dapat dilakukan dengan cara penyifonan,
yaitu menyedot sisa pakan dengan menggunakan slang plastik. Sebelum pemijahan
berlangsung, induk Kepiting betina biasan ya akan mengalami pergantian kulit
terlebih dahulu sebagaimana terjadi pada udang windu. Bersamaan dengan saat
proses pergantian kulit, tubuh induk betina akan mengeluarkan sejenis hormon (pherom
one). Menurut dugaan pakar perikanan, pheromone merupakan per angsang yang
kuat bagi jantan agar segera mendekati induk betina. Jika ada induk jantan yang
terangsang, maka ia akan mendekati induk betina yang sedang ganti kulit dan
segera menaiki tubuhnya. Pada saat terangsang oleh pheromone, induk jantan biasanya
akan segera matang gonad.
Tingkat kematangan Kepiting jantan yang dianggap
terbaik adal ah 3 han setelah induk jantan menerima rangsangan pheromon yang
dikeluarkan oleh induk betina yang sedang moulting. Induk jantan akan tetap
menaiki tubuh induk betina kurang lebih selama 3—4 han, hingga proses ganti kulit
pada induk betina selesai. Sebelum turun dan tubuh induk betina, indukjantan
akan mengeluarkan spermanya. Proses pengeluaran spenna oleh induk Kepiting
jantan biasanya akan terjadi kurang lebih 7 — 12 jam setelah proses ganti kulit
selesai. Sperma yang berasal dan induk jantan tidak akan langsung memb uahi sel
telur melainkan disimpan dahulu oleh induk betina dalam organ (wadah) khusus.
Proses pembuahan sel telur oleh sperma biasan ya akan terjadi setelah beberapa
minggu atau bulan kemudian. Sek ali melakukan pemijahan, sperma yang disimpan
dalam tubuh induk betina dapat digunakan untuk membuahi telur sebanyak dua
periode atau lebih.
Bila proses pemijahan telah berlangsung, maka induk
Kepiting betina segera dipindahkan ke wadah tempat pemeliharaan larva, Seh
ingga akuarium dapat digunakan kembali untuk memijahkan induk Kepiting lainnya.
Jika kondisi
memungkinkan, induk betina akan segera memb uahi telur-telumya dan menyimpannya
pada pleopod. Telur-telur Kepiting yang telah dibuahi biasanya akan menetas 12
— 15 han kem udian, tergantung kondisi lingkungan setempat. Dan telur yang
menetas akan keluar larva Kepiting yang masih berada dalam fase zoea dan
bersifat planktonik. Dalam beberapa kasus, sebagian telur Kepiting ada yang
menetas prematur, sehingga larva yang dihasilkan berada dalam fase prezoea.
Prezoea mi akan mengadakan pergantian kulit dan dalam waktu 30 menit akan
berubah menjadi zoea. Setelah mengalami beberapa kali pergantian kulit, zoea
akan berubah menj adi megalops dan setelah berumur sebulan akan menjadi juvenil
Kepiting. Pada fase mi Kepiting sudah mulai bersifat bentik, yaitu organisme
yang mempunyai kebiasaan hidup di dasar perairan.
Untuk mencegah kematian yang terlalu tinggi, sebaiknya larva Kepiting dibiarkan hidup di akuarium hingga berumur 5 han. Pemindahan yang dilakukan kurang dan 5 han dikhawatirkan akan menyeb abkan stres pada larva Kepiting yang baru menyesuaikan din dengan kehidupan barunya. Agar tidak terjadi perubahan kondisi lingkungan yang mendadak, pemindahan larva Kepiting ke wadahw adah kecil (waskom) yang telah diisi air laut sebaiknya dilakukan bersama air aslinya.
Untuk mencegah kematian yang terlalu tinggi, sebaiknya larva Kepiting dibiarkan hidup di akuarium hingga berumur 5 han. Pemindahan yang dilakukan kurang dan 5 han dikhawatirkan akan menyeb abkan stres pada larva Kepiting yang baru menyesuaikan din dengan kehidupan barunya. Agar tidak terjadi perubahan kondisi lingkungan yang mendadak, pemindahan larva Kepiting ke wadahw adah kecil (waskom) yang telah diisi air laut sebaiknya dilakukan bersama air aslinya.
Tujuan pemindahan larvami adalah untuk men gurangi
padat penebaran larva Kepiting, sehingga akan mengurangi kemungkinan terjadinya
kematian pada larva Kepiting.
Untuk menjamin tersedianya oksigen, masing-masing waskom dilengkapi dengan aerator yang ujungnya dilengkapi dengan batu aerasi. Selama dalam waskom, larva Kepiting harus selalu diamati perkembangannya. Jika banyak yang mati, pindahkan segera larva yang masih hidup ke waskom lain atau waskom baru. Kematian tert inggi yang dialami oleh larva Kepiting terjadi pada fase zoea, karena fase mi merupakan masa kritis bagi Kepiting. Kematian pada fase mi dapat disebabkan oleh kegagalan pada saat ganti kulit, pengotoran air oleh larva yang mati, pembenan pakan buatan yang berlebihan atau masuknya ciliata ke dalam tubuh zoea pada saat berganti kulit. Penga matan sebaiknya dilakukan hingga larva mencapai fase megalops, yaitu selama 10— 15 han.
Untuk menjamin tersedianya oksigen, masing-masing waskom dilengkapi dengan aerator yang ujungnya dilengkapi dengan batu aerasi. Selama dalam waskom, larva Kepiting harus selalu diamati perkembangannya. Jika banyak yang mati, pindahkan segera larva yang masih hidup ke waskom lain atau waskom baru. Kematian tert inggi yang dialami oleh larva Kepiting terjadi pada fase zoea, karena fase mi merupakan masa kritis bagi Kepiting. Kematian pada fase mi dapat disebabkan oleh kegagalan pada saat ganti kulit, pengotoran air oleh larva yang mati, pembenan pakan buatan yang berlebihan atau masuknya ciliata ke dalam tubuh zoea pada saat berganti kulit. Penga matan sebaiknya dilakukan hingga larva mencapai fase megalops, yaitu selama 10— 15 han.
Pada fase
megalops masa kritisnya sudah lewat dan penyebab utama kematian larva pada fasemi
adalah karena sifat kanibal. Selama fase zoea, pakan
utama yang diberikan berupa pakan alami, misalnya Moina (termasuk
kelompok kutu air). Pembenan pakan buatan sering menyebabkan kualitas air
menurun, sehingga perlu selalu dibersihkan dengan cara penyifonan. Penyifonan
yang terlalu sering dikhawatirkan dapat menimbulkan stres terhadap larva zoea
yang dipelihara. Dengan demikian pembenian pakan alami pada fase zoea merupakan
langkah yang paling tepat, karena dapat memp ertahankan kualitas air tetap
baik. Jika larva telah mencapai fase megalops, dapat dilakukan pemberian pakan
berupa Daphnia (term asuk kutu air yang mempunyai ukuran relatif lebih
besar daripada Moina). Pemberian Daphnia dapat dikombinasikan dengan udang/
daging yang telah dicincang halus. Pemberian pakan tersebut dapat dilakukan
hingga megalops menjadi Kepiting muda.
Kepada Kepiting yang telah melewati fase megalops
dapat dib erikan pakan alami berupa artemia. Pemberian pakan tersebut dapat
dikombinasikan dengan pakan buatan yang terdiri dan cincangan daging bekicot
atau daging ikan. Kepitingjuga dapat diberi pakan ber upa binatang yang sudah
mati (bangkai).
C. PRODUKSI UKURAN KONSUMSI
Hingga saat mi Kepiting masih merupakan salah satu organisme perikanan yang belum banyak menarik perhatian petani ikan untuk memeliharanya, karena pengetahuan mengenai teknik pemeliharaan Kepiting belum banyak dikuasai oleh para petani. Kepiting dapat dip elihara di kolam hingga mencapai ukuran konsumsi, seperti yang telah dilakukan di Filipina, Malaysia dan Taiwan, baik dengan pem eliharaan secara monokultur maupun polikultur.
1.
Monokultur
Monokultur
adalah sistem pemeliharaan di mana dalam satu kolam hanya ada satu spesies saja
yang dipelihara. Pemeliharaan Kepiting secara monokultur mi banyak dilakukan
oleh petani ikan di Malaysia, Filipina atau Taiwan.
Ukuran kolam pemeliharaan Kepiting sebaiknya jangan
terlalu besar, agar tidak menimbulkan kesulitan dalam pengelolaannya. Di Taiwan,
pemeliharaan Kepiting banyak dilakukan di kolam-kolarn yang masing-masing
mempunyai luas sekitar 350 meter persegi. Umumnya mereka membagi kolam yang
besar menjadi empat bagian yang masing-masing mempunyai ukuran 350 meter
persegi. Pada titik pertemuan keempat kolam tersebut dibuat bak semen berukuran
1 — 2 meter persegi yang berfungsi sebagai saluran pemasukan dan pembagi air ke
kolam pemeliharaan. Jika air masuk ke bak semen mi dan mengalir ke kolam-kolam
di sekelilingnya, maka Kepiting biasa nya akan segera berkerumun di bak
tersebut sehingga dapat memperm udah pengambilan pada saat dipanen.
Dinding kolam terdiri dan batu atau semen dan
tingginya kurang lebih satu meter. Dinding kolam sebelah dalam dibuat tegak
lurus den gan dasar kolam sedangkan dinding sebelah luar dibuat miring den gan
sudut 45 — 60 derajat. Bagian atas dinding kolam dibuat agak melengkung
ke dalam untuk mencegah Kepiting melarikan din. Jika dinding kolam terbuat dan
tanah, sebaiknya dilapisi anyaman bambu yang agak rapat, sehingga Kepiting
tidak bisa membuat lubang persembunyian.
Setelah selesai mempersiapkan kolam pemeliharaan,
masukk anlah benih Kepiting dengan jumlah penebaran disesuaikan dengan ukuran
kepitingnya. Untuk benih Kepiting ukuran 100 gram per ekor dapat ditebarkan ke
kolarn dengan padat penebaran 20 ekor per meter persegi. Sedangkan jika
ukurannya telah mencapai 200 — 250 gram setiap ekomya,jumlah benih yang
ditebarkan harus dikurangi menjad i 10 ekor per meter persegi. Benih Kepiting
sebaiknya ditebarkan paling cepat lima han setelah proses pengapuran agar tidak
mengal ami stres.
Jika menginginkan Kepiting selalu bertelur di kolarn, sehingga dapat dilakukan pemanenan secara selektif, maka sebaiknya perband ingan antara benih jantan dan betina yang ditebarkan berkisar 1: 20. Untuk menghindani kematian Kepiting karena sifat kanibalisme, sebaiknya kolam pemeliharaan dilengkapi dengan pelindung (shelt er). Pelindung mi berfungsi sebagai tempat persembunyian bagi Kep iting yang sedang berganti kulit, sehingga terhindar dan kejaran
Jika menginginkan Kepiting selalu bertelur di kolarn, sehingga dapat dilakukan pemanenan secara selektif, maka sebaiknya perband ingan antara benih jantan dan betina yang ditebarkan berkisar 1: 20. Untuk menghindani kematian Kepiting karena sifat kanibalisme, sebaiknya kolam pemeliharaan dilengkapi dengan pelindung (shelt er). Pelindung mi berfungsi sebagai tempat persembunyian bagi Kep iting yang sedang berganti kulit, sehingga terhindar dan kejaran
0 Response to "Budidaya Kepiting "
Post a Comment