Agribisnis berasal dari kata Agribusiness, di mana
Agri=Agriculture artinya pertanian dan Business artinya usaha atau kegiatan
yang menghasilkan keuntungan. Jadi, Agribisnis
adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan
pengusahaan
tumbuhan
dan hewan
(komoditas pertanian,
peternakan, perikanan, dan kehutanan) yang berorientasi pasar (bukan hanya untuk pemenuhan kebutuhan pengusaha sendiri) dan perolehan nilai tambah.
Dalam agribisnis terdapat dua konsep pokok. Pertama, agribisnis merupakan konsep dari suatu sistem yang integratif dan terdiri dari beberapa sub-sistem, yaitu: (1)
sub-sistem pengadaan sarana produksi
(agroindustri hulu), (2) sub-sistem produksi usahatani, (3) sub- sistem pengolahan dan industri hasil pertanian (agroindustri hilir), (4) sub-sistem pemasaran dan
perdagangan,
dan (5) sub-sistem kelembagaaan penunjang (Davis and Golberg,
1957; Downey and Erickson,
1987);
Saragih
(1999) (lihat
Diagram
1). Sub-sistem
kedua dan sebagian dari
sub-sistem pertama dan
ketiga merupakan on-farm
agribusiness,
sedangkan sub-sistem lainnya merupakan off-farm agribusiness.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kegiatan
agribisnis merupakan (a)
kegiatan yang berbasis
pada keunggulan
sumberdaya alam (on-farm agribusiness) yang terkait erat
dengan penerapan teknologi dan keunggulan sumberdaya manusia bagi perolehan
nilai tambah yang lebih besar (off-farm agribusiness); serta (b)
kegiatan yang memiliki ragam kegiatan dengan spektrum yang sangat
luas, dari
skala usaha kecil dan rumahtangga hingga skala
usaha raksasa, dari
yang berteknologi sederhana hangga yang paling canggih, yang kesemuanya itu saling terkait dan saling mempengaruhi.
Dalam usaha mempercepat
laju pertumbuhan
sektor agribisnis terutama dihadapkan dengan kondisi
petani kita
yang
serba
lemah
(modal, skill,
pengetahuan
dan
penguasaan
lahan) dapat ditempuh melalui penerapan sistem pengembangan (system of
development)
agribisnis. Dalam konteks
bahasan ini, yang dimaksud “sistem pengembangan
agribisnis”
adalah suatu bentuk atau model atau sistem atau pola pengembangan agribisnis yang mampu memberikan keuntungan layak bagi
pelaku-pelaku agribisnis (petani/peternak/pekebun/ nelayan/pengusaha kecil dan menengah/koperasi),
berupa peningkatan pendapatan, peningkatan nilai tambah dan perluasan kesempatan kerja.
Di Indonesia sejak
dilaksanakan pembangunan pertanian, telah diterapkan beberapa sistem pengembangan pertanian berskala usaha baik untuk komoditi
pangan maupun non pangan. Jika dikaji lebih
jauh
tujuan dan sasaran
“sistem
pengembangan”
yang
pernah diterapkan di sektor pertanian, pada
hakekatnya adalah
pengembangan
sektor pertanian (dalam arti luas) secara menyeluruh dan
terpadu, yakni tidak hanya peningkatan produksi, tetapi juga pengadaan sarana produksi,
pengolahan produk, pengadaan modal usaha dan pemasaran
produk secara bersama atau
bekerjasama dengan pengusaha. Sistem pengembangan sektor pertanian semacam ini, jika menggunakan istilah sekarang, tidak lain adalah pengembangan pertanian berdasarkan agribisnis, atau dengan kata lain
pengembangan agribisnis. Di antara sistem-sistem tersebut ada yang diterapkan oleh pemerintah berupa kebijakan nasional dan ada pula yang telah berhasil diterapkan oleh kelompok masyarakat atau kelompok peneliti, akan tetapi masih bersifat
per kasus. Adapun
sistem-sistem tersebut
antara lain: Unit
Pelaksana Proyek (UPP), Insus dan
Supra Insus, Sistem Inkubator, Sistem
Modal Ventura, Sistem Kemitraan (Contract Farming) dalam berbagai bentuknya seperti Pola PIR,
Pola Pengelola, Sistem ‘Farm Cooperative’, dll. Jadi
dalam rangka pengembangan agribisnis hortikultura di KTI, pelaku-pelaku
agribisnis
dapat
menerapkan
satu atau lebih
sistem tersebut sesuai dengan kondisi lokalitas.
0 Response to "Sistem Pengembangan Agribisnis"
Post a Comment