Agribisnis Hortikultura Berkelanjutan di KTI
Pembangunan yang dilaksanakan sekitar dekade 50-70an yang mengejar pertumbuhan
ekonomi tinggi di
satu pihak, ternyata di pihak lain telah menimbulkan degradasi sumberdaya alam, seperti penggundulan hutan, penurunan kesuburan
tanah, pencemaran air dan udara, banjir bandang, dan kekeringan, yang kesemuanya itu mengancam keberadaan
mahluk hidup di dunia ini (termasuk manusia).
Menyadari akan hal itu, akhirnya sekitar dasa warsa 80-an muncul gagasan pembangunan jalan terus dengan tetap
memperhatikan kelestarian sumberdaya alam atau lingkungan.
Akhirnya lahirlah
konsep kombinasi
pembangunan dengan lingkungan atau dikenal juga dengan istilah
“pembangunan berwawasan lingkungan”
yang tidak lain adalah
‘pembangunan berkelanjutan’ (sustainable development).
Pembangunan berkelanjutan artinya suatu aktivitas pembangunan yang
menggunakan sumberdaya alam (hutan, lahan, air
dan input) dengan intensitas lebih rendah, sehingga memungkinkan mewariskan kepada generasi yang
akan datang suatu kelestarian atau bahkan peningkatan stok sumberdaya alam atau asset-aset lainnya (Colby, 1990; Munasinghe, 1993). Mengacu pada gagasan Munasinghe dan Colby, maka pengembangan agribisnis hortikultura
di KTI seharusnya juga menerapkan
konsep pengembangan agribisnis hortikultura
berkelanjutan. Artinya, dalam
setiap aktivitas agribisnis hortikultura agar
memanfaatkan sumberdaya alam (lahan, hutan, air), dan sumberdaya buatan manusia (pupuk, teknologi lain) dengan
intensitas yang lebih rendah,
sehingga kelestarian
sumberdaya alam terpelihara bahkan meningkat kualitasnya untuk diwariskan kepada generasi yang akan datang. Dengan demikian, ada tiga macam tujuan yang harus diperhatikan dalam
pengembangan agribisnis hortikultura
secara berkelanjutan di
KTI antara
lain:
(1) ekonomis, yaitu
mengoptimal pemakaian
sumberdaya
(alam
dan
buatan
manusia) secara ekonomis,
(2)
ekologis,
yaitu
menitik beratkan pada stabilitas dari sistem fisik dan biologis, dan (3) sosio-kultural,
yaitu menjaga stabilitas
sistem sosial dan budaya termasuk pengurangan konflik yang destruktif.
Jadi esensinya, dalam mengembangkan hortikultura,
baik dalam strategi maupun setiap programnya agar tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya
alam sehingga dapat dihindari
terjadinnya
degradasi sumberdaya alam. Misalnya,
pengelolaan
wilayah
perairan untuk
penangkapan ikan dihindari
eksploitasi
yang berlebihan yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan, pengelolaan
hutan
(HPH) harus tetap
memperhatikan penanaman kembali, pengelolaan
lahan kering di daerah miring agar memperhatikan
azas- azas konservasi lahan (terassering)
sehingga
dapat dihindari
terjadinya erosi, pemanfaatan
pupuk organik sebagai pengganti pupuk kimia yang cenderung merusak tanah, dan
lain sebagainya. Jadi berkelanjutan
artinya memperhatikan dan menjaga kualitas sumberdaya, sehingga keberadaannya dapat dimanfaatkan secara terus-menerus atau berkesinambungan.
Pengembangan sektor agribisnis di masa depan, khususnya selama PJP II akan menghadapi sejumlah tantangan besar yang bersumber dari: (1)
Tuntutan keberhasilan pembangunan ekonomi domestik,
yang mengakibatkan:
(a) peningkatan pendapatan
per kapita
penduduk, dan (b)
perubahan perilaku dan selera konsumen, (2)
Perubahan lingkungan ekonomi internasional,
yakni:
(a)
tuntutan
pasar
terhadap persyaratan mutu, di mana Indonesia lebih
dikenal sebagai pengekspor produk pertanian primer sehingga sulit mengembangkan
merek nasional produk agroindustri di luar negeri, (b) munculnya negara- negara pesaing kuat yang menghasilkan produk agroindustri, seperti RRC, Thailand, Vietnam, dan Kamboja, dan (c) berkembangnya tuntutan pasar dunia terhadap
produk-produk agribisnis yang akrab lingkungan (ecolabelling).
Resultante dari peningkatan pendapatan per kapita penduduk
dan perubahan perilaku dan selera konsumen akan
mendorong
penduduk meningkatkan konsumsinya terhadap produk-produk lebih beranekaragam
(diversifikatif). Artinya, konsumen tidak
puas dengan produk-produk agribisnis tradisional dan mentah, tetapi menginginkan hasil olahan yang lebih beranekaragam. Kondisi ini
harus diantisipasi terus-menerus oleh pengusaha-pengusaha
agribisnis untuk
mencari inovasi
dan
terobosan
teknologi
pengolahan, sebagai sebuah
tantangan di masa depan.
Sejak diratifikasinya kesepakatan organisasi
perdagangan dunia
(World Trade Organiozation, WTO) pada tanggal 1
Januari
1995 yang lalu,
maka regim protektif dalam perdagangan
internasional telah
berakhir. Berbagai
kebijakan
tarif dan non-tarif yang menghambat perdagangan internasional di masa yang
lalu
secara bertahap akan diminimumkan/dihapus. Meskipun WTO baru akan efektif pada tahun 2020, namun bagi Indonesia
era
liberalisasi perdagangan dan investasi
sudah
harus
dihadapi pada tahun 2003 dalam
kawasan Asia Tenggara
(Asean Free Trade
Area, AFTA) dan
kemudian
makin meluas ke kawasan Asia Pasifik (Asia Pacific Economic Coopeartion, APEC) pada tahun
2010. Berlangsungnya liberalisasi perdagangan tidak hanya membawa peluang, tetapi juga menjadi tantangan
baru bagi agribisnis nasional. Dengan diminimumkannya (atau bahkan dihapus)
tarif perdagangan, maka pasar produk agribisnis pada setiap negara akan semakin terbuka
bagi setiap
negara,
sehingga persaingan antara
produsen
produk agribisnis akan semakin ketat. Bila
produk-produk agribisnis Indonesia
mampu bersaing,
berarti agribisnis Indonesia akan mampu
meningkatkan
pangsanya di
pasar
internasional. Sebaliknya, jika agribisnis Indonesia tidak mampu bersaing, maka bukan hanya pangsanya hilang di pasar internasional, tetapi di pasar domestik sendiri juga akan terdesak.
Jadi untuk menghadapi tantangan besar yang
kita hadapi
saat
ini dan di masa depan
dan
menjadikan produk hortikultura KTI
berdaya saing tinggi yang sementara ini dirasakan masih relatif lemah adalah meningkatkan daya saing atau keunggulan kompetitif agribisnis di KTI baik
di pasar domestik
maupun internasional. Ini dapat dilakukan dengan cara menyingkirkan kendala-kendala, mengatasi masalah yang
dihadapi pelaku-pelaku
agribisnis, mengantisipasi
perubahan lingkungan
strategi, dan memfasilitasi
pengembangan agribisnis.
Namun dalam
usaha meraih keunggulan
kompetitif bagi suatu
produk
agribisnis, maka harus dipenuhi dua syarat
yaitu,
syarat keharusan (necessary
condition) dan syarat kecukupan
(sufficient condition).
Kemampuan
memasok
barang
sesuai
dengan kualitas
yang dituntut konsumen merupakan syarat keharusan (necessary condition),
sedangkan kemampuan memasok barang
dengan harga lebih murah merupakan syarat kecukupan (sufficient condition).
Artinya,
suatu produk
agribisnis
akan mampu
bersaing atau memiliki keunggulan
kompetitif,
jika memenuhi kedua syarat ini, yakni memenuhi standard kualitas yang
dituntut konsumen
dan dengan harga yang lebih
murah dari pesaing kita.
Inilah kunci keberhasilan persaingan produk-produk agribisnis di pasar domestik
dan internasional.
Bagi bangsa Indonesia, pelita VII merupakan pelita terakhir sebelum memasuki era perdagangan bebas. Oleh karena itu, momentum pelita VII perlu dimanfaatkan semaksimal
mungkin
untuk
membenahi sektor agribisnis nasional agar siap menjawab tantangan
zaman. Pembenahan sektor agribisnis yang
dimaksud adalah membenahi kelemahan-kelemahan sektor agribisnis nasional saat ini,
mengakomodir tantangan yang dihadapi
dan
mengintegrasikan sektor
agribisnis
nasional dengan pasar internasional.
Jika sudah ada komitmen
untuk membangun sektor agribisnis, maka
secara perlahan-lahan tetapi
pasti, kendala-kendala tersebut harus diatasi, melalui koordinasi
dan kooperasi antara
swasta pelaku-pelaku agribinsis
maupun pejabat instansi
pemerintah terkait sebagai fasilitator
pembangunan agribisnis di KTI.
0 Response to "Agribisnis Hortikultura Berdaya Saing Tinggi di Kawasan Timur Indonesia ( KTI )"
Post a Comment